Clay Shirky, Profesor New Media dari New York University, dalam jurnal bergengsi, Foreign Affairs edisi Januari-Februari 2011, menulis sebuah artikel menarik berjudul “The Political Power of Social Media: Technology, the Public Sphere, and Political Change.” Dikatakan menarik karena apa yang ditulisnya mengenai pengaruh media sosial dalam dunia politik begitu besar. Maraknya aksi demonstari di Timur Tengah akhir-akhir ini yang dipicu oleh media sosial menjadi bukti nyata apa yang dikatakan Shirky adalah tepat.
Media seperti diketahui selalu menjadi penghubung yang mampu mendekatkan diri antara gagasan dengan khalayak luas. Sejak kemunculannya, media telah menunjukkan kapasitas tersebut. Revolusi mesin cetak Guttenberg beberapa abad yang lalu di Jerman membuktikan bahwa pengetahuan dapat disebarluaskan dan membuat khalayak tidak lagi terisolasi dari ketidaktahuan. Apa yang dilakukan Guttenberg sebenarnya sederhana, mencetak Injil suci agar dapat dibaca seluas-luasnya oleh khalayak. Ide Guttenberg ini memang bukan tanpa alasan. Injil, pada waktu itu, hanya bisa dibaca oleh para klerik Kristiani, dan dipakai untuk kepentingan mereka. Dengan mesin cetaknya yang revolusioner, dia membuat pengetahuan eksklusif para klerik itu menjadi inklusif.
Menyadari peran teknologi yang begitu besar, kebanyakan pemerintah otoriter akan mengekang atau membatasi penggunaannya. Hal ini dilakukan agar rakyat tidak terlalu sadar pada keadaan sekitar. Sebagai gantinya, rakyat dibuat terlena oleh berbagai kegiatan hobi yang bersifat hedonistik. Namun, era pengekangan kebebasan mendapatkan informasi itu tampak pudar sekarang. Hak atas informasi sudah menjadi keniscayaan. Teknologi informasi tidak dapat lagi dapat dibendung, terutama dengan kehadiran internet.
Di era Perang Dingin, misalnya, Amerika Serikat menghabiskan banyak biaya untuk membuka ragam sarana komunikasi di negara-negara komunis. Salah satunya dengan membuka stasiun radio Voice of America di Moskow. Amerika Serikat juga menyelundupkan mesin Xerox di perbatasan blok Barat dan blok Soviet (Iron Curtain), untuk membantu gerakan pers bawahtanah (samizdat) Cekoslovakia pimpinan Vaclav Havel, yang sangat anti komunis. Gerakan samizdat ini, meski tidak langsung meruntuhkan kekuasaan pemerintah komunis, perlahan tapi pasti berkontribusi melemahkan komunisme sampai pada kehancurannya di tahun 1989.
Sejak kemunculan internet di awal 1990an, manusia dari berbagai macam bangsa di dunia saling terhubung. Miliaran orang menggunakan teknologi komunikasi ini. Sepanjang periode yang sama, media sosial telah menjadi keseharian hidup masyarakat di seluruh dunia. Warga biasa, aktivis, NGO, konsultan politik, perusahaan telekomunikasi, penyedia perangkat lunak, pemerintah, semuanya menggunakan media sosial sebagai sarana penyebarluasan gagasan-gagasan mereka.
Meluasnya penggunaan media sosial di kalangan masyarakat sipil berimbas pula pada meluasnya gagasan demokrasi. Demokratisasi di era siber ini tampaknya telah menemukan bentuk yang paling sempurna dalam tahun-tahun belakangan. Sebelumnya, kehadiran teknologi informasi dianggap sebagai panopticon, meminjam istilah Foucault, sebuah penjara yang membuat orang terlepas dari sifat alamiahnya sebagai mahluk sosial. Alih-alih menjadi sarana alienasi, internet telah membuat manusia dari seluruh bangsa saling berhubungan dan berbagi ide, tanpa mengenal batas negara. Internet juga digunakan untuk kepentingan perjuangan politik. Internet telah bertransformasi menjadi media sosial yang menghubungkan jutaan orang dengan satu ide. Sebuah kekuatan luar biasa.
Peran penting internet dalam pergerakan politik adalah mengumpulkan ide, sekaligus menyebarkannya dengan luar biasa cepat. Merujuk pada Clay Shirky, opini awalnya dikirimkan oleh media, lalu digaungkan oleh kawan, anggota keluarga, dan kolega. Pada tahap kedua inilah, tahapan sosial, opini politik terbentuk. Tahapan ini, menurut Shirky, merupakan tahapan di mana internet secara umum, dan media sosial secara khusus, dapat membuat perubahan. Internet menjadi bukan saja media konsumsi melainkan juga media produksi. Dalam bahasa Shirky, internet memperbolehkan orang untuk menyuarakan dan memperdebatkan ragam pandangan saling bertentangan, baik secara privat maupun publik.
Kesadaran bersama dan koordinasi merupakan elemen penting dalam suatu gerakan politik. Menurut Patrick Meier (2011), kesadaran bersama ini harus melibatkan kemampuan setiap anggota kelompok untuk tidak hanya memahami situasi yang ada, melainkan memahami pula bahwa setiap orang lainnya juga memahami situasi tersebut. Kesadaran ini disebut dengan istilah “shared awareness” (kesadaran bersama). Media sosial meningkatkan kesadaran bersama melalui penyebaran pesan-pesan lewat jaringan sosial. Media sosial, menurut Shirky, mampu memperbaiki kekurangan kelompok yang terpecah dan tidak disiplin itu, dengan mereduksi biaya koordinasi.
Dalam bahasa kami, kesadaran bersama itu kami sebut dengan istilah collective imagination, yakni pembayangan bersama oleh individu-individu yang berkumpul dalam “dunia maya”, kemudian bersatu untuk merespon “dunia nyata” yang menurutnya menjadi masalah bersama.
Di Indonesia, Collective imagination ini tampak pada gerakan satu juta facebookers “Cicak Melawan Buaya”, yang menolak kriminalisasi KPK. Atau gerakan “Koin untuk Prita” yang mampu mengumpulkan ratusan juta koin untuk membayar denda sidang pencemaran nama baik rumah sakit Omni International yang dituduhkan kepada Prita Mulyasari.
Ketika revolusi sedang terjadi di sebagian besar kawasan Timur Tengah, sekali lagi kita menyaksikan peran media social dalam membentuk collective imagination sehingga memicu demonstrasi. Tunisia dan Mesir sudah menjadi bukti bagaimana kontribusi media sosial dalam menggulingkan pemerintah otoriter. Libya, Yaman, Yordania, dan Bahrain sedang menuju perubahan ke arah demokratisasi.
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa media sosial telah menjadi media baru dengan gigi. Media sosial dapat menggigit siapa saja yang dianggap sebagai musuh bersama publik dunia maya. Inilah yang disebut dengan “Kekuatan Politik Media Sosial”.(http://asrudiancenter.wordpress.com/2011/03/05/kekuatan-politik-media-sosial/#more-2021)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar